Jumat, 27 November 2015

Leak Jaka Tunggul




Pernah mendengar pohon jaka tunggul? Mungkin jarang. Namun bagi generasi duluan, istilah ini sudah tak asing, tapi sedikit membuat bulu merinding. Apa sebab, karena jaka tunggul itu selalu dikaitkan dengan mistik. Ada yang mengatakan jaka tunggul merupakan jadi-jadian orang yang bisa ngeleak. Tapi ada juga yang mengatakan jaka tunggul tersebut adalah pohon jaka yang berdaun hanya sehelai dan berdiri di sebuah pekarangan. Pohon ini konon disukai oleh leak. Biasanya leak yang sudah nadi (berubah wujud) kemudian karena suatu hal, ada orang elwat di sekitarnya, leak itu kelabakan dan berlindung di tempat aman, salah satunya adalah di pohon jaka tunggul. Dengan menyelinap di sana, leak akan tak kelihatan, sehingga sering orang mengatkan bahwa pohon jaka tersebut adalah pohon jadi-jadian leak. Banyak ungkapan mengatakan “ia nak suba bisa dadi jaka tunggul” artinya “ia sudah bisa berubah wujud menjadi pohon jaka tunggul”.  Pohon itu tetaplah pohon, namun leaknya yang sering menyelinap di sana.
Bicara mengenai pohon jaka tunggul sebagai tempat berlindung leak. Ada cerita tentang itu. Namanya Gungde, suatu malam minggu pergi ke rumah pacarnya di Pemedilan, namanya Gung Ayu yang cantik jelita. Seperti biasanya Gungde yang sudah ganteng dengan sedikit wangi-wangian berangkat naik motor antic. Kala itu kota belum segemerlap sekarang. Melewati daerah yang remang-remang kira-kira lima kilo meter dari arah timur dari daerah Pemedilan, Gungde sudah berbunga-bunga untuk bertemu dengan pujaan hatinya.
Tak lama diceritakan dalam perjalanan, jeroan Gung Ayu pun sudah di depan mata.  Gungde memarkir kendaraannya di depan kuri atau pintu gerbang. Namun entah kenapa, seperti ada hentakan dari belakang di kegelapan malam yang menyebabkan lutut Gungde menjadi lemas dan terjatuh. Gungde terjatuh, terkapar ditindih sepeda motor. Setelah Gungde mellihat ke belakang ternyata tak ada siapa-siapa. Ia bangun sendiri sambil membersihkan tangan dan bajunya yang sedikit kotor, untung tak berlumpur. Cerita itu tak diketahui oleh Gung Ayu, malu dong kalau anak muda jantan sampai jatuh sendirian tertindih motor sendiri. Ah malu ah… …
Gung Ayu menyambut kedatangan Gungde dengan berbunga-bunga. Singkat cerita haripun sudah malam, waktunya untuk pulang. Gungde masih teringat dengan kejadian terjatuh tadi, ia berhati-hati, dan mengawasi daerah sekitarnya sambil takut-takut. Gung Ayu kesayangannya sudah tak dihadapannya lagi. Ia sendirian menstater sepeda motor langsung kabur ke arah timur menuju rumah dengan perasaan senang becampur dengan perasaan takut tapi sedikit-sedikit.
Sampai akhirnya di suatu pengkolan di yang gelap dan tak berpenghuni dekat sawah, Gungde merasakan ada sesuatu yang lain. Angin dingin menerpa badannya sehingga bulu romanya berdiri. Suatu yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Ia melihat ada kelebatan sinar berupa endih seperti nyala api obor menari-nari di depannya. Api itu seolah-olah menghadang laju perjalanan sepeda motor Gungde. Gungde sedikit kawatir dengan keselamatan, karena tak ada rumah dan orang satupun lewat disana. Gungde yang sudah jengah dikerjai dari rumah Gung Ayu, turun dari motor lalu membuka baju, lalu mendekat pada api yang berkelebat-kelebat itu. Ia unjuk gigi dengan endih itu, lalu mengibas-ngibaskan bajunya ke arah endih yang banyaknya empat buah itu. Gungde dalam hati berpikir, rupanya mereka berempat ingin megeroyokku. Baiklah, aku tangan kosong dan tak punya punya gegemet. Akan aku ladeni kamu. Aku tak pernah merasa punya musuh, tapi kalu mereka menghalangiku, akan aku lempag mereka.
Dengan membabi buta Gungde mengejar empat buah endih itu sambil mengibaskan baju dan sebatang kayu kira-kira satu meter panjangnya. Entah mereka ketakutan atau kewalahan menghadapi Gungde yang ngamuk, akhirnya empat endih itu berkelebat menjauh menuju ke kegelapan. Gungde terus mengejar, sampai akhirnya endih itu lenyap di pohon yang berdiri tegak sendirian. Gungde berpikir bahwa leak-leak itu bersembunyi di pohon. Ia pun memukul-mukul pohon itu untuk melampiaskan kemarahannya. Setelah puas dan keletihan, Gungde kembali ke sepeda motornya untuk kembali pulang. Kini giliran motornya tak mau hidup. Ia mengira bensinnya habis. Setelah dicek dengan cara menggoyang-goyang tangkinya, ternyata bensinnya masih banyak. Gungde lagi berpikir, lagi-lagi leak ini menggangu. Maka tak banyak pikir, gungde mengencingi sepeda motornya dengan harapan leak itu lari dari sepeda motornya. Akhirnya memang tindakan konyolnya itu membawa hasil. Sepeda motornya mau hidup, iapun langsung menuju ke rumahnya dengan perasaan kesal, karena dibuntuti leak sejak di depan rumah pacarnya, sampai pulang. 
Diceritakan keesokan harinya, Gungde mau bekerja pagi-pagi agak sedikit ngantuk karena kejadian tadi malam. Ia lewat di jalan yang sama pagi itu. Ia teringat dengan leak-leak yang membuntutinya dan mengganggu pada malam kemarin. Ketika ia amati pohon kemarin malam, ternyata pohon itu adalah pohon jaka yang berdiri sendirian dan hanya berdaun sehelai. Kalau orang bilang itu adalah pohon jaka tunggul. Artinya pohon jaka (enau) yang berdiri sendirian seperti sebuah tongkat dan daunnya sehelai seperti kober atau bendera sehingga ia disebut dengan pohon jaka tunggul. Tunggul artinya tongkat yang berisi kober. Menurut cerita orang tua-tua, konon pohon jaka tunggul itu disenangi oleh leak. Maksudnya, pohon jaka itu dipakai sebagai tempat berlindung apabila mengalami suatu yang tak diinginkan, termasuk tempat bersembunyi. Gungde lalu berpikir “pantesan mereka semua pada lari ke pohon itu kemarin malam”. Tapi ia teringat ketika pohon itu ia tigtig (pukul-pukul) kemarin. Pastilah diantara mereka yang sedang bersembunyi terkena pukulan, sampai-sampai ia marah lalu ngeliseb (menyedot) motorku sampai tak bisa hidup. Demikian perbincangan hati Gungde sambil berjalan sendirian.
Sampai akhirnya pada suatu sore, ketika ia sedang duduk di depan rumahnya dengan seorang teman, tiba-tiba ada dua orang warga yang menghampiri dan menyapa gungde dengan ramah. Gungde pun menyahut dengan sopan dan seadanya. Tetangga yang dikenalnya itu lalu pergi begitu saja. Namun Gungde melihat orang itu seperti ada luka memar (balan) bekas kena pukulan kayu di bagian lengan dan pelengan (dahi), dan yang satu lagi tangannya diurut-urut seperti susuban (tertusuk duri) termasuk jalannya yang agak sedikit terinjik-injik yang menurut pengakuan orang itu ia tertusuk duri. Gungde teringat dengan kejadian kemarin, jangan-jangan orang ini yang kemarin mengganggunya di pohon jaka itu, sampai akhirnya yang satu terkena pukulan kayu sampai balan (memar membekas) dan yang satunya mungkin tertusuk yip (lidi tajam dari ijuk).
Ah itu hanyalah pikiran ngawur dari Gungde. Kini berselang berapa lama, ada lagi dua orang yang datang mendekat lalu bertanya seadanya tentang keadaan. “Ten mekarya Gungde? Disahutnya “ten nika” begitu sahut Gungde sambil lalu. Setelah diamati ternyata orang tersebut semua mukanya muram seperti nggak enak badan, terlihat menyengir dan mual-mual. Lagi-lagi Gungde berpikiran lain, jangan-jangan orang ini yang mengganguku ketika motorku tak mau hidup. Mungkin ia terlalu banyak menelan air kencingku ketika aku mengencingi sepeda motorku kemarin. 
Gungde menjadi bengong melihat kehadiran keempat orang tersebut yang datang tanpa diundang atau tak pernah bertegur sapa ramah sebelumnya. Jangan-jangan mereka secara diam-diam mohon pengampunan sekaligus minta obat secara tak kentara. Konon begitu katanya menurut orang tua-tua terdahulu. Demikian Gungde menganalisa kejadian yang dihadapinya waktu malam kemarin dan kedatangan dari orang-orang yang perilakunya agak sumbang. 
Nah itu dia… makanya kalau bisa ngeleak jangan mengganggu, jangan jadi leak jahil… karena tak semua orang akan takut dan tak semua orang bisa disakiti. Karena setiap orang punya tegak oton (kelahiran) yang berbeda sekaligus setiap orang mempunyai kekuatan yang berbeda berkaitan dengan kekuatan leak. Mungkin mereka berempat sudah biasa mengganggu orang di jalan dan mereka senang kalau sudah dapat mengganggu sekaligus membuat orang menjadi takut dan sakit. 
Tapi kali ini mungkin mereka apes, ketemu Gungde yang bebogolan, artinya tak punya jimat, tak punya sabuk, tak tahu ilmu kanuragan, ia hanya mengandalkan kata hatinya…. Hajaaaaarrrr. Empat leak dihajarnya sampai kalangkabut, hahahaaaaa…... (Ki Buyut). 

by:wayan ardana bagus

Leak Kapal Terbang





            Masih ingat kejadian mobil sedan yang menyerempet seorang kakek di sebuah gang? Kali ini ceritanya lain lagi, di mana teknologi leak-nya sudah semakin canggih yakni menjadi sebuah pesawat terbang. Mengapa leak bisa meniru bentuk atau wujud seperti kapal terbang atau benda-benda canggih modern,  hanya untuk menyakiti bahkan membunuh orang lain? Sebenarnya apa tujuan mereka (para penganut ilmu hitam) membunuh mangsanya? Mengapa kemampuan itu tidak digunakan untuk kebaikan misalnya menjadi kapal terbang atau mobil untuk membantu mengangkut keluarga ke suatu tempat, dll?  Apakah karena dendam pribadi atau ada tujuan lain, sehingga orang-orang tak berdosa menjadi korban? Benarkah kata orang bahwa membunuh orang itu adalah wajar dan satu syarat untuk meningkatkan ilmunya? Terlepas dari kepercayaan itu, di Bali sering kali kejadian-kejadian di luar nalar dihubung-hubungkan dengan leak.
          Nang Lepug dari Denpasar Utara mengalami hal tersebut. Ceritanya adalah demikian, pada suatu malam seperti biasa Nang Lepug pergi mengairi sawahnya. Dia pergi sendirian sampai larut malam, hingga pukul 4 pagi karena pada waktu itu musim air agak seret sehingga harus bergilir mendapatkan air. Karena kebetulan sawah Nang Lepug berada paling ujung (hilir), maka ia mendapat jatah paling belakang. Seperti biasanya Nang Lepug ditemani oleh anjingnya yang bernama I Sempol.
          Malam itu Nang Lepug bersama I Sempol sedang asyik mengairi sawah sambil mencari lindung dan kakul. Sudah banyak lindung dan kakul yang ia punggut dari sawah. Hari pun semakin malam, semakin sunyi, dan semakin dingin. Namun, Nang Lepug dengan sabar menanti sampai petak-petak sawahnya yang telah ditanami padi terairi. Tak seorang pun krama subak dan petani yang ada di sawah ketika itu. Mereka sudah lebih dulu pulang karena sudah mendapatkan air. Tinggal Nang Lepug dan I Sempol di tengah sawah yang gelap dan dingin. Langit agak berawan sehingga tak ada bintang atau bulan yang kelihatan ketika malam itu. 
          Di kegelapan tersebut Nang Lepug melihat sebuah nyala api yang dari jauh terlihat seperti cahaya lampu. Nang Lepug mengira bahwa itu adalah orang yang sedang nyundih (mencari lindung). Namun, setelah beberapa saat api itu menjadi semakin dekat dengannya, dan seraya terdengar suaranya seperti kapal terbang yang bergerak ke arahnya. Ketika itu Nang Lepug tak begitu peduli karena memang sering terlihat pesawat terbang melintas di atas pada malam hari. 
          Namun, apa yang terjadi kemudian? Lampu pesawat tersebut semakin rendah dan semakin mendekat ke arahnya. Kapal itu menyambar Nang Lepug, tetapi Nang Lepug sempat berkelit sehingga terhindar dari tabrakan kapal terbang tersebut. Nang Lepug menjadi heran, kok ada kapal terbang melintas serendah itu. Anehnya, kapal tersebut berbalik arah kembali menuju Nang Lepug yang masih terheran-heran. Nang Lepug dan I Sempol kembali menghindar dan berlari sebisanya dari kejaran dan sambaran kapal terbang. Sampai puntag-pantig ia berlari dan seolah-olah kapal terbang itu masih berada di belakangnya. Sampai akhirnya, dengan terengah-engah Nang Lepug yang dibuntuti oleh I Sempol sampai di dekat rumah penduduk terdekat. I Sempol menggonggong tak henti-hentinya, sebagai pertanda ada makhluk aneh yang dilihatnya. Penduduk pun banyak yang terbangun mendengar keteb-keteb kaki Nang Lepug berlari disertai dengan gonggongan suara I Sempol yang disahuti oleh anjing kampung. Suasana menjadi ramai dan mencekam. Ketika itulah Nang Lepug menceritakan kejadian yang dialaminya kepada Nang Pangus.
          “Itulah kehebatan leak, dia bisa berwujud apa saja sesuai dengan kemauannya,dan sesuai dengan tingkatan ilmu yang dimilikinya. Mungkin nanti akan ada bentuk leak yang lebih canggih lagi seperti pesawat ulang-alik, berbentuk tank tempur, mobil formula satu, dll. Tapi sayangnya, kemampuan itu hanya biasa dipakai untuk menakuti orang lain. Coba saja itu bisa dipakai untuk hal yang baik seperti mengangkut orang barang, atau membantu yang lain, pastilah aku dengan rajin ikut belajar ngeleak,” kata Nang Pangus sedikit tertawa menyudahi perbincangannya yang ternyata kruyuk ayam telah terdengar sebagai pertanda menjelang pagi.
          Nang Lepug dan I Sempol pun kembali ke rumah. Semenjak itu Nang Lepug merasa tidak enak badan. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Ia tak bisa bergerak dengan leluasa. Nang Lepug sudah dicarikan obat ke berbagai tempat yang diketahui oleh sanak keluarganya. Namun semua itu belum dapat membantu menyembuhkan sakit Nang Lepug yang disambar leak kapal terbang. 
          Anehnya, jika seseorang tertabrak benda keras seperti kapal terbang seharusnya babak belur, tetapi badan Nang Lepug tidaklah begitu. Badan Nang Lepug masih terlihat utuh, tetapi ketika seorang balian datang untuk memeriksa dan mengetesnya dengan menggunakan yeh nyuh gading (air kelapa kuning), tampaklah badan Nang Lepug kebiruan. Ini sebagai pertanda bahwa badannya yang sakit itu karena imbas dari kekuatan leak kapal terbang yang menyambarnya beberapa hari lalu.
          Akhirnya, keluarga Nang Lepug mencoba untuk nunas tamba kepada orang-orang pintar yang diketahuinya. Nang Lepug rajin nunas tamba, walaupun belum begitu tampak hasil pengobatannya. “Semoga lekas sembuh Kak Lepug……”, mungkin demikian kata hati I Sempol yang saat itu sehat-sehat saja tak terkena imbas ilmu leak kapal terbang. Haaa…haaa…

by:wayan ardana bagus

Engkebang Memedi





Cerita tentang seseorang engkebang memedi(disembunyikan mahluk halus) pastilah lumrah di kalangan krama Bali. Sebab, di seantero tanah Bali banyak terdengar cerita tentang seseorang yang disembunyikan oleh memedi. Salah satunya adalah cerita yang datang dari Denpasar.
Ohhh Denpasar…, kota yang begitu terang benderang masih juga ada memedi? Rupanya memedi tak mengenal terang gelap, ramai ataui sepi. Sebab ia berada pada ruang dan waktu yang berbeda. Ceritanya begini:
Pada suatu hari sebutlah namanya I Wayan Pongek sudah cukup dewasa sekitar umur sepuluh tahun. Tinggal seperti layaknya orang bali, berkumpul dengan keluarga ayah dan ibu, serta kakanya. Kemudian di sebelah rumahnya juga masih keluarga besar dari saudara bapak ibunya. Jadi tinggal dalam lingkungan keluarga besar. Selain komplek rumah, di beberapa tempat di sekitarnya masih tersisa ruang yang disebut dengan tebe atau pekarangan kosong yang belum ada bangunannya yang ditumbuhi pohon besar termasuk pohon bambu.
Pada suatu hari, I Wayan mau kencing sendirian menuju ke tebe yang ada di sebelah rumahnya yang ditumbuhi pohon bambu itu. Hal itu diketahui oleh kakak dan ibunya. Setelah sekian lama ia pergi ke tebe tersebut, ibunya baru ngeh “kok wayan Pongek belum kembali dari tebe” demikian perfasaan hati ibunya. “Apakah ia bermain di sana dengan temannya?”. Lalu ada niat dari ibunya untuk menengok ke sana dengan siapa ia bermain. Ternyata setelah dilihat, I Wayan Pongek tak ada di sana, sedangkan ia tak ada balik ke rumah. Kemudian ditanya tetangganya “apakah ada melihat I Wayan Pongek?” semua tetangga tak ada melihatnya. 
Ibunya mulai kebingungan sampai kemudian sore hari I wayan tak kembali. Ada firasat dari tenganganya, jangan-jangan I Pongek engkebang memedi, karean pergi ke tebe tak kembali-kembali. Maka pada sore hari itu dilakukan pencarian bersama-dengan para tetangga dengan membunyikan alat-alat bunyian seperti sok bodng, kulkul tiying, panci dan lain-lain guna menimbulkan suara riuh dengan harapan si memedi yang mengendalikan pikiran I Wayan akan melepaskannya. Upaya pada sore hari itu tak membuahkan hasil. Keluarga cemas atas kejadian tersebut.
Kemudian pada pagi harinya setelah semua selesai memasak, maka dilakukan upaya yang sama dengan julmal yang lebih banyak untuk mecari I Wayan Pongek di tebe itu. Suasana tebe menjadi semakin riuh. Setelah sejak pagi, siang kemudian menjelang sore mengobok-obok tebe tersebut, akhirnya wayan tiba-tiba terlihat sedang duduk termenung di atas sebuah batu yang ada di tebe tersebut. Segera saja kemudian keluarganya mendekati dan menyapa I Wayan, I Wayan pun terkejut ketika banyak orang menghampirinya.
Setelah tenang di rumahnya baru kemudian I wayan Pongek menceritakan kejadian yang dialaminya. Bahwa kemarin ketika ia hendak kencing di tebe, ia dihampiri oleh beberapa orang yang seperti manusia berambut pirang. Mereka mengajak Wayan jalan-jalan melali. I Wayan tak kuasa menolak, dan mengikuti saja kemana ia diajak. Ia kemudian diajak ke tempoat-tempat yang sangat indah yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dia juga diajak untuk menghampiri teman-temannya yang lainnya di dunia itu. Ia pun menuruti saja keinginan dari mereka itu entah diajak kemana. Di sana memenag ramai seperti halnya di dunia manusia, namun ia tak ada yang kenal orang-orangnya. 
Di sisi lain ia juga melihat para keluarga dan dan masyarakat sekitarnya ramai berjalan-jalan sambil memukul benda-benda. Sambil memanggil-manggil namanya. Tapi ia tak kuasa menjerit serta tak ada niat untuk mennyahut. Padahal kakak, ayah, ibu, dan orang-orang tetangga ada di sampingnya memanggil-manggil namanya, tepi ia tak ada niat untuk menyahut.
Perjalanan terus berlanjut melali di alam memedi dengan sajian yang indah. Dan ia juga melihat orang semakian banyak datang memamggil-manggil namanya sambil membunyikan benda-benda. Entah apa yang dirasakjan  oleh teman da orang-orang yang mengajakanya pergi tersebut, salah seorang kemudian berkata “Wayan, kamu sudah dipanggil oleh orang tua dan keluargamu, sekarang kamu boleh pulang”.
Setelah mengatakan demikian, tiba-tiba saja orang itu hilang, dan ia merasakan dirinya duduk di atas batu di tebe itu. Saat itu ia terheran-heran dengan dirinya. Alam lain yang ia lihat tadinya tiba-tiba sirna begitu saja dan kembali melihat alam biasa berupa tebe. Sampai akhirnya ia disadarkan oleh sapaan dari mereka-mereka yang mencarinya.
Atas kembalinya I Wayan Pongek ke rumah, maka keluarganya menjadi lega. Namun di sisi lain mereka heran mendengar cerita engkebang memedi. I Wayan menceritakan bahwa banyak orang atau penduduk alam niskala (alam memedi) tersebut yang berambut pirang. Tapi yang menjadi pertanyaan, ketika ia dijemput oleh orang-orang berambut pirang dan masih berada di sekitar wilayah itu, kenapa I Wayan bisa tak terlihat. Padahal ia bisa melihat orang-orang atau keluarga yang mencarinya. 
Katanya orang, semua ini akibat perbedaan dimensi waktu dan ruang, tetapi bagaimana ini bisa terjadi. Bagaimana ia bisa masuk dalam dimensi waktu mahluk memedi itu, sehingga sosok tubuhnya bisa tak terlihat. Bagiamana pula alam pikirannya bisa terkontrol oleh dimensi alam memedi tersebut. Nah untuk yang ini… sepertinya tak perlu dibahas habis sebab inilah misteri alam semesta, misteri dunia niskala yang mungkin tak akan ditemukan jawabannya. Ya  sih…. kayaknya begitu… biarkan misteri menjadi misteri. (Buyut) 

Ngobrol dengan Celuluk






I Runtag memang seorang petani yang ulet dan polos. Tak ada pekerjaan lain yang dilakukannya selain bergelut dengan lumpur. Ngedas lemah (subuh) ia sudah berangkat ke sawah, siang masih di sawah sampai sore. Malam pun sudah biasa di sawah. Itulah I Runtag seorang petani tardisional Bali dengan segala keluguannya. Dia tidak sendirian, tetapi pada umumnya petani yang lain juga begitu keadaannya. Sehingga di sawah tersebut tidak pernah sepi.
Diceritakan suatu hari I Runtag sudah menanam padi, dan di pupuk. Ia tinggal menjaga keadaan air agar tanaman padinya tidak kekeringan. Nah, kebetulan pada suatu hari air kali agak seret, dan ia kebagian air paling belakang, karena sawahnya berada di tebenan atau hilir dari barisan petak sawah. Maka ia mengairi sawahnya sampai malam. Krama petani yang lainnya ketika itu sudah mendapatkan air. Tinggal sawah I Runtag yang belum terairi. 
Menjelang malam I Runtag datang ke sawah. Para petani yang lainnnya sudah pulang tinggal ia sendiri di sawah. Malam itu juga  sawahnya harus dapat air agar tidak kekeringan besoknya. Maka berangkatlah ia ke sawah sendirian. Hujan gerimis mengiringi langklahnya di kegelapan malam yang sunyi senyap.  Tanpa pernah merasa takut sedikit pun karena sudah biasa di sawah pada malam hari. Tetapi ketika itu ia sedikit makesieng karena merasa sendirian. Tapi kemudian ia berusaha melawan rasa khawatir tersebut agar tidak ketakutan. 
Ia pun kemudian sampai di sawah. Pengalapan (lubang saluran air) pun di buka agar air bisa mengalir ke petak sawah. Kondisi air tidak begitu lancar ketika itu, sehingga ia selalu mondar mandir mengontrol di petak sawah dan penajnag sungai. Siapa tahu ada sampah atau pepohonan yang menghambat jalannya air. Ia mengontrol, sampai di hulu sungai, dan akhirnya sampailah I Runtag di empelan atau grembengan atau bendungan kecil di kali. 
Dengan rasa percaya diri I Runtag melangkah pasti di keremangan malam yang hanya di temani kunang-kunang, suara godogan, dan suara pindekan(baling-baling). Ia lalu melihat sesosok orang di dekat grembengan (bendungan air kali) tersebut. I Runtag pun dengan ramah menyapa orang yang belum jelas tersebut. Seperti biasa salam dari jauh mereka “weee… nyen to, ngudiang to ? ( eh, siapa itu, sedang apa di sana). Begitulah kata I Runtag dari jauh. Tapi orang tersebut sama sekali tidak menyahut setelah dipanggil beberapa kali. Selangkah kemudian I Runtag menuju ke grembengan mendekati orang yang dikiranya sama dengan dirinya sedang mencari air di sawah. Semakin dekat, sedikit jelas kelihatan sosok orang tersebut. Di lihatnya orang tersebut memakai kamben duur entud, memakai baju batik, tetapi mukanya belum kelihatan, dan tampaknya orang tersebut menyembunyikan mukannya dengan kain putih. I Runtag dengan tanpa curiga macam-macam, ia menyapa orang tersebut. 
Mungkin tak tahan dengan keramahan I Runtag, akhirnya ia mencoba bersikap ramah pula kepada I Runtag. Ia pun menyahut sambil memperlihatkan wajahnya. Wehehehhhh…. Cang I Nyonyo Lambih, wehehehhhhh…. Demikian sahutnya, yang membikin I Runtag terkejut setengah mati. Karena dilihatnya wajah orang tersebut berubah seperti umah tabuan (bagaikan rumah tawon). Mukanya seperti celuluk dalam cerita calonarang. I Runtag pun lari tunggang-langgang, meloncati kali dan ngengsut (nyangkut) di pohon galing-galing dan glagah yang ada di pinggir kali tersebut. Karena saking takutnya, ia tak merasakan sakit. Lari secepat mungkin biar sampai di rumah.
Akhirnya sampailah ia di rumah, yang membuat istri dan keluarganya kaget tengah malam. Ia kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada keluarganya di rumah. Karena saking takut dan kagetnya ketika malam itu, I Runtag kemudian menjadi tidak enak selama seminggu di rumah. Untuk sementara urusan sawahnya diurus oleh anaknya yang paling sulung.
Berita tentang pengalaman I Runtag pun kemudian menyebar dikalangan petani di sawah dan di banjarnya. Banyak yang datang menengok dan bertanya kepada I Runtag di rumahnya ketika ia masih sakit. Datanglah suatu hari I Dayuh, teman akrabnya. Mereka bercerita seadanya. I Runtag pun ketika malam itu tidak tahu kalau malam tersebut adalah pemagpag kajeng kliwon, menjelang tilem. Ditambah dengan suasana hujan gerimis, maka itulah hari yang memang disukai oleh orang-orang untuk ngelekas. Karena suasananya sepi dan mencekam, jadi tidak banyak orang keluar rumah, sehingga tidak banyak gangguan. Nah apalagi kemudian pada malam itu lewat grembengan, karena orang begitu suka di tempat itu, karena grembengan tempat yang angker dan bagus untuk ngeleak. Belum lagi nanti kalau ada bangkai-bangkai binatang yang nyangkut, kalau sudah menjadi leak, maka akan terasa nikmat baunya. Padahal sejatinya baunya adalah sangat busuk. 
Demikian I Dayuh mengingatkan I Runtag, kalau bepergian malam, perlu juga melihat atau mengingat hari atau rerahinan. (Ki Buyut / Kand).

by:wayan ardana bagus

Gegemet Caling Macan I Bracuk





Bracuk tak menyangka dirinya akan mendapat jodoh seorang gadis dari Denpasar yang merupakan jantung tanah Bali. Gadis kota yang ia dapatkan berasal dari sebuah desa di kota Denpasar yang menurut orang-orang terkenal dengan alam niskalanya, terkenal dengan kekuatan mistiknya. Kalau orang luar bilang, Desa ini memang tenget, ditambah lagi dengan penduduknya memang serem. Desa ini banyak melahirkan para  jawara kanuragan, balian sakti, orang terkenal, dalang sakti, preman, bahkan sulinggih juga banyak. Artinya desa ini dikenal angker secara sekala dan niskala. Ternyata Denpasar Kota masih menyimpan banyak misteri dan mistik.
Nah kini dikisahkan I Bracuk yang menjadi menantu di desa itu, kerapkali berkunjung ke rumah mertuanya. Ia sudah tak asing lagi di sana. Senda gurau dengan orang-orang di sana, bahkan sedikit minum-minum sambil mengakrabkan diri dengan lingkungan. I Bracuk pun sadar dengan dirinya yang menyunting gadis dari desa yang terkenal angker tersebut. Ia juga sudah banyak mendengar cerita tentang desa tempat asal istrinya. Artinya bahwa I Bracuk tak boleh gegabah dengan dirinya. Maka ia berpikir untuk membekali dirinya dengan sesuatu yang bersifat niskala untuk menjaga diri, melindungi diri, terhadap hal-hal niskala di gumi tenget di desa mertuanya. 
Untuk itu, maka pergilah I Bracuk ke salah seorang yang menurutnya mumpuni untuk mencari pengraksa jiwa atau pelindung diri dari kekuatan niskala. Entah ia membeli atau bagaimana, yang jelas ia diberikan sebuah kalung yang berbentuk caling atau taring oleh sang balian sakti. Rupa kalung itu memang aeng namun artistik. Entah itu terbuat dari caling macan, tanduk meng atau bisa jadi dari tegilsiap (tanduk kaki ayam). I Bracuk pun diberitahu mengenai segala persyaratan, cara pemeliharaan agar kekuatannya terjaga, termasuk pula dengan segala pantangannya. Salah satu pantangannya adalah kalung yang berfungsi sebagai gegemet tersebut tak boleh dipakai ketika buang hajat atau buang air besar. Karena ketika dipakai buang hajat maka kalung tersebut kekuatannya akan punah.
Singkat cerita, berbekal gegemet tersebut, I Bracuk sudah merasa diri handal, yakin dengan keselamatannya, sudah tak kawatir lagi akan adanya bahaya yang bersifat niskala. Maka dengan keyakinan dirinya, I Bracuk bertandang ke rumah mertuanya entah pagi, siang, sore, bahkan tengah malam. Ia pun merasa lebih leluasa bergaul di rumah mertuanya. Namun dengan gegemet tersebut, I Bracuk menjadi memiliki keyakinan yang berlebihan, I Bracuk semakin menjadi-jadi, bahkan bicaranya kerapkali tak terkontrol, alias memunyi cah cauh. Mungkin merasa diri sudah handal dengan gegemetyang diberikan oleh balian sakti itu.
Setelah sekian lama, kini diceritakan I Bracuk bertandang ke mertuanya bersendaugurau dengan para ipar dan tetangganya. Seperti biasa, acara dilanjutkan dengan mekeciran alias minum-minum.  Ketika itu minumannya adalah tuak. Banyak hal yang dibicarakan alias satua kangin kauh saat itu. I Bracuk orangnya memang suka dengan dunia niskala, apalagi berbicara masalah dukun alias “balian sakti”, ia banyak tahu dan banyak omongannya. Sehingga pembicaraan kaingin kauh pada malam hari itu lebih didominasi oleh cerita yang nyerempet-nyerempet dunia niskala. Ipar-iparnya yang diajak minum sudah mengingatkan agar jangan terlalu campah bicara, apalagi masalah niskala. Tapi karena merasa diri handal, maka ia terus saja ngoceh menyerempet hal-hal gaib.
Sedang asik mereka ngobrol, saat itu I Bracuk merasakan ingin kencing. Maka bergegas ia ke kamar kecil. Sebelum ke kamar kecil ia selalu ingat dengan gegemetnya yang ia kenakan tak boleh dibawa ke kamar kecil. Ia membuka kalung itu lalu digantungkan di sepeda motor dekat mereka minum. Ketika selesai buang air, kalung itu dipakai kembali.
Yang diajak minum oleh I Bracuk saat itu adalah I Ketut Crucuk Kuning, I Wayan Blangko, Gung Tut Glalak Glilik,  I Wayan Blekok, dan beberapa orang lagi. Acara minum pun menjadi seru ketika mereka semua sudah agak “on” .
Kini kembali diceritakaan I Bracuk ingin ke kamar kecil. Ia kembali membuka kalung gegemetnya. Kali ini ia tidak menggantungkan di sepeda motor tadi, namun menitipkan kepada salah salah seorang dari mereka yang diajak minum. Ketika keluar dari kamar mandi, ia kemudian meminta kalungnya kepada temannya. Nah, di sinilah masalah mulai muncul. Sebab semua temannya yang diajak minum itu tak merasa dititipi kalung gegemet oleh I Bracuk. Temannya menjadi bingung, siapa yang dititipi, termasuk juga I Bracuk bingung siapa yang ia titipi. Yang jelas tadi ia tergesa-gesa menitipkan kepada salah seorang teman minumnya. Maka bingunglah semuanya, siapa yang dititipi.
I Bracuk yang sangat tergantung dengan gegemetnya tersebut sangat bingung dan sangat merasa kehilangan. Ia meyakini, gegemet itulah yang bisa melindungi dirinya dari hal-hal negatif yang bersifat niskala. I Bracuk merasa sangat terikat dengan kalung tersebut. Kalung tersebut sama dengan jiwanya. Terasa dunia ini runtuh, seolah-olah dirinya tak hidup lagi. Demikian keyakinannya tentang kalung tersebut. I Bracuk bingung, teman-teman dan iparnya juga bingung mencarinya di sekitar tempat itu. Semua merasa tak enak hati dengan kehilangan tersebut. Semua berusaha mencari, namun tak ketemu. Acara  minum yang tadinya enjoy mendadak menjadi tidak enak hati. Acara yang taddinya happy berubah menjadi mistik. 
Ipar I Bracuk menyarankan untuk dicari besok pagi, pasti ketemu. Acara minum pun bubar. Namun I Bracuk masih ngomel-ngomel atas kehilangan, ditambah lagi situasinya setengah mabuk. Teman-teman minum, ipar dan mertuanya mencoba untuk menenangkan I Bracuk, namun ia tetap saja gusar sambil ngomel tak karuan. Beberapa lama kemudian, pada tengah malam ia mencoba kembali ke tempat minum tadi untuk mencari kembali siapa tahu ketemu. Dan betul saja, barang gegemetnya diketemukan di bataran tugu pengalang-alang dekat mereka minum tadi. I Bracuk segera mengambil kalungnya. Namun ketika mengambil kalung tersebut, I Bracuk menerima sebuah bogem mentah yang menyebabkan ia jatuh tersungkur di depan tugu tersebut. Saat itu tak ada siapa-siapa di sana. Ia mengerang kesakitan. Lalu datang iparnya menolong. Ia kemudian menceritakan semua niskala yang menimpa dirinya. Atas kejadian tersebut, acara minum yang tadinya bubar kini berkumpul kembali ketika mendengar I Bracuk jatuh tersungkur kena pukulan niskala di depan tugu.
Menyaksikan kejadian tersebut kemudian I Ketut Crukcuk Kuning mengatakan kepada I Bracuk agar besok-besok tidak membawa barang-barang aneh alias gegemet  ke sini. Sebab kita tak tahu apa yang akan terjadi. Lebih baik kosong-kosong saja, pasti akan aman. Karena Ketut Crukcuk Kuning meyakini bahwa kekuatan gegemet tersebut pasti akan kontak dengan kekuatan pelindung niskala di pekarangan ini yakni Ratu Ngurah Penunggun Karang dan Ratu Ngurah Pengadang-adang. Kalau gegemet itu kelasnya agak kotor atau kasar pastilah akan mengalami sesuatu di sini. Maka dari itu, agar tak mengalami hal-hal yang tak diinginkan, lebih baik kosongan, tak akan ada yang mengganggu secara niskala. Demikian Ketut Crucuk sedikit menasehti I Bracuk yang dinilainya telah membawa sesuatu yang tak benar ke pekarangan rumahnya, apalagi bicaranya agak “tegeh”. I Ketut Crukcuk sangat yakin, penunggun karangnya akan melindungi segenap penghuni rumahnya secara niskala.
Selain itu I Ketut Crukcuk, I Wayan Blekok dan I Wayan Blangko berbisik bersama Gung Tut Glalak Glilik. Mungkin saja tadi ketika I Bracuk ke kamar kecil, yang dititipi kalungnya adalah penghuni tugu atau Ratu Ngurah Pengadang-ngadang yang tampak seperti sosok manusia untuk mengambil kalung gegemet tersebut. Makanya kalung itu secara aneh ketemu di bataran pelinggih Ratu Ngurah Pengadaang-ngadang. Sekaligus beliau memperingati I Bracuk dengan memberikan bogem mentah agar tak bicara cah cauh serta tak membawa sesuatu yang aneh-aneh ke pekarangan ini.
Melihat kejadian ini I Ketut Crukcuk Kuning teringat dengan hal niskala yang dialami oleh I Putu Ketimun Guling beberapa tahun yang lalu. I Putu ini juga bertandang ke sini pada malam hari. Sama halnya dengan I Bracuk, I Putu memakai kalung gegemet yang konon bekal dari “si kakek, balian sakti” di kampung halamannya. Dan ketika sampai di depan tugu tersebut, kalung gegemet yang ia kenakan itu bergetar keras di lehernya. Lalu I Putu Timun Guling mengurungkan niatnya untuk bertandang ke sana, kawatir terjadi sesuatu dengan dirinya.
Kini kembali ke cerita I Bracuk. Atas kejadian malam itu, I Bracuk merasakaan sesuatu yang tak enak di badannya. Ia merasakan badannya sakit, serta kepalanya agak pening. Ia mengira bahwa hal itu karena pengaruh mabuk, dan yakin akan hilang dalam satu hari. Namun setelah beberapa hari, sakit di badaannya masih terasa, demikian juga dengan pening kepalanya. Termasuk lagi pikirannya agak tak karuan-karuan. Sambil merasakan sakitnya, kemudian I Bracuk  merenung. Ia teringat dengan kejadian di tugu pada malam hari itu. Entah merasa bersalah atau bagaimana, I Bracuk berniat memohon ampun bersaranakan pejati di tugu di tempat ditemukan gegemetnya itu. 
Singkat cerita, pejati dihaturkan sambil memohon ampun atas semua kesalahan, maka keesokan harinya rasa sakit di badannya mulai berkurang berangsur sembuh. Demikian juga dengan kegalauan pikirannya mulai sirna. Ia menjadi tenang kembali.
Menyaksikan hal demikian, kembali Gung Glalak Glilik dan I Wayan Blekok berbisik. “Apang tawange rasane, kaden kenken gumi dini. Bani bani gen. Macem-macem gen ngabe gegemet teke mai… Haha… “
Atas kejadian yang dialaminya, sekaligus I Bracuk membuktikan cerita-cerita di luar sana mengenai keangkeran dari desa asal istrinya. Walaupun di kota. 
“Ha…, dunia mistik tak kenal kota atau desa. Ia akan ada sepanjang masa dengan segala perwujudannya yang selalu menyesuaikan dengan jaman. Mistik  adalah kekal abadi. Manusia tak akan lepas dari dunia mistik, namun tak bisa semuanya di-mistik-kan. Sekala niskala adalah dua dunia dengan dimensi yang berbeda, namun sangat dekat dan saling berhubungan. Maka yang perlu dilakukan adalah dipahami, diyakini, serta diselaraskan” Demikian Nyoman Pulung-Pulung Ubi mengakhiri bisik-bisik mereka. (Ki Buyut/Kand.).

by:wayan ardana bagus

Liak Sandal Vs Kapsul Tetra




Sore menjelang Hari Suci Nyepi, I Made Sugrama disibukkan dengan mengurus istrinya yang terjungkal jatuh di jalan setapak ketika menjemput kakaknya yang bekerja di sawah. Ketika itu Ni Luh Kembang Bungah mengendarai sepeda motor Mio warna kuning kesayangannya. Entah apa yang terlindas oleh sepeda motornya, tiba-tba ia sudah terjatuh, tertindih sepeda motor. Cek kali cek ternyata kakinya sedikit keseleo, bengkak sehingga harus diurut. Hari itu juga I Mde Sugrama segera mengajak istrinya ke tempat Pekak Tukang Wuut (kakek tukang urut) yang ada di banjar sebelah. Ketika itu ia dihadapkan pada sebuah pilihan. Sebab balian tukang urut di banjar tersebut ada dua dan alamatnya berada dalam satu gang dan bahkan rumahnya bersebelahan. 
Maka dipilihlah tukang wut yang rumahnya lebih di depan. Karena jero balian itu yang lebih dahulu bisa dijangkau. Canang sesari dua puluh ribu pun dihaturkan memohon agar diberikan jalan penyembuhan oleh sesuhunan sang balian. Lalu mulai prosesi balian wut melakukan terapi. Kaluarlah minyak-minyak bertuah dari kamar suci sang balian, diurutkan ke kaki Ni Luh Kembang Bungah.
Dalam prosesi itu, sang balian sepertinya sedang menerima suatu bisikan dari niskala, lalu terucap kalimat “badah… ne iluh ulung sing je ulian apa. Ne ada anak nyengkalen. Sandalne misi pepasangan. Kutang sandale to, pang sing ngrebeda buin”. Dalam terjemahan bebasnya maksudnya adalah bahwa yang menyebabkan Iluh mengalami kecelakaan seperti ini adalah karena perbuatan orang yang tidak suka kepadanya, dengan cara memberikan suatu di sandalnya, agar ni luh mengalami celaka. Disuruh oleh sang balian agar sandal tersebut dibuang.
I Made Sugrama dan Ni Luh Kembang terhenyak mendengar pernyataan sang balian. Dan karena ingin cepat sembuh, maka ia percaya dengan omongan sang balian, lalu membuang sandal tersebut di depan pintu gerbang sang balian. Namun ketika itu I Made Sugrama sambil berpikir, sayang dengan sandalnya itu harus dibuang, sebab sandal itu baru dibeli dan masih bagus. Tapi terdorong oleh omongan sang balian, maka sandal itu dibuangnya saja dengan berat hati. Merekapun pulang, dengan harapan sampai di rumah sudah baikan. Namun sampai di rumah I Made Sugrama berfikir, untung saja liak itu hinggap di sandal, bagaimana kalau liak itu hinggap di motor mio, berarti motor itu harus dibuang. Waduh … mahal dan sayang …
Setelah dua hari diurut, ternyata sakit kaki dari Niluh Kembang tak ada perubahan, bahkan makin bengkak. I Made Sugrama menjadi berpikir, rugi berobat ke sana tak ada perubahan. Kalau dihutung keruigiannya sesari canang Rp 20.000 ditambah harga sandal 150.000, maka total kerugian mencapai 170,000. Belum lagi dua hari tak kerja, tak ada pemasukan. Maka I Made Sugrama bergegas untuk nunas tamba alias berobat ke pekak tua yang juga balian urut yakni balian yang lagi satunya. Rumahnya agak di belakang dari rumah balian yang satunya. Maka Made Sugrama pun mengendap-endap dan menyelinap masuk ke rumah pekak balian yang satunya, karena tak enak kalau dilihat oleh balian yag satunya. 
Setelah menceritakan semua kejadiannya, maka canang sari dihaturkan dengan sesari dua puluh ribu rupiah. Lalu dilakukan pengobatan dengan lengis sakti yang dimiliki oleh pekak tersebut yang konon berasal dari sebuah batu sakti yang ia dapatkan terdahulu ketika menyabit rumput di sawah. Konon minyak dari batu sakti itu telah menyembuhkan banyak orang sakit sejak dahulu. 
Dengan kepercayaan penuh Ni Luh dan I Made Sugrama nunas tamba di sana. Ketika proses sedang berlangsung, lagi-lagi I Made Sugrama dikejutkan dengan pernyataan pekak balian yang menyatakan bahwa tulang Niluh Kembang sudah hancur di dalam. I Made Sugrama pun panik dalam hati, ia berpikir istrinya tak bisa berjalan lagi karena tulangnya sudah benyah alias remuk. Namun si pekak balian meyakinkan kembali I Made Sugrama bahwa ia akan berangsur sembuh karena kasiat dari minyak yang ia punya. Singkat cerita, mereka berdua pulang dengan kaki bengkak dan berjalan dipapah, dan berharap beberapa saat setelah pengobatan akan terjadi kesembuhan.
Pada malam itu, diceritakan Ni Luh Kembang merasakan sakit yang sangat, terasa kebet-kebet (berdenyut-denyut di bagian kakinya yang begkak). Ni Luh Kembang mengerang kesakitan dan tak bisa tidur, demikian juga dengan I Made Sugrama tak tidur semalaman menemani istrinya. Pada pagi hari kaki Ni Luh kembang semakin bengkak, dan malah memerah. Waguh… I Made Sugrama kembali menghubungi seorang penyembuh (balian) yang agak jauh dari rumahnya untuk mengecek keadaan kaki istrinya. Sang balian ketika sampai di rumah I Made Sugrama mencoba untuk menilai situasi rumah. Lalu mengecek keadaan dari Ni Luh Kembang. 
Hasil anaslisa sang balian, kembali mengejutkan I Made Sugrama, konon istrinya sedang diserang liak barak. Inilah yang menyebabkan kakinya menjadi bengkak dan memerah. Waduh kembali keringat dingin keluar dari pori-pori I Made Sugrama. Sang balian kemudian memberikan sedikit jampi-jampi agar liak barak itu keluar dari kaki Ni Luh kembang.
Proses itu pun selesai begitu saja, lalu sang balian disuguhkan minuman kopi ala kadarnya di rumah I Made Sugrama. Made pun lega hatinya, berharap bengkak kaki istrinya berangsur sembuh. Beberapa saat setelah sang balian menghilang dari rumahnya, tiba-tiba sakit itu semakin jadi, dan lagi-lagi I Made Sugrama tak tidur semalaman. Poyoklah kondisi I Made Sugrama dan istrinya.
Dalam keadaan kebingungan dan ngantuk pagi itu datanglah I Ketut Catu berkunjung ke rumah I Made Sugrama. Didapatinya I Made sedang murung, ngantuk dan bingung. Maka berceritalah I Made Sugrama mengenai keadaan istrinya. I Ketut Catu yang berpikir logis dan medis menyarankan agar I Made Sugrama segera mengajak istrinya ke puskemas atau rumah sakit terdekat. 
Saran I Ketut Catu didengar oleh I Made Sugrama, lalu bergegas menuju puskemas berbekal kartu JKBM yang didapatnya dari kantor kelurahan. Kaki dari Ni Luh Kembang diperiksa oleh petugas kecamatan sambil mengorek keterangan mengenai kejadian, dan tak menceritakan bahwa kakinya itu sudah diobati oleh tiga orang balian. Tampak ketika itu sang perawat membersihkan kaki Ni Luh yang bengkak, serta didapatinya sebuah luka kecil yang kemasukan pasir kotor. Luka itu dibersihkan dengan seksama kemudian diberi obat. 
Sang perawat menjelaskan bahwa kaki istrinya bengkak karena ada luka kecil berisi pasir kotor. Itulah yang menyebabkan infeksi lalu terjadi bengkak memerah. Sang perawat yang sudah terbiasa dengan pasien penyakit seperti ini kemudian memberikan obat pada luka. Dan memberikan obat minum berupa tablet yakni obat untuk mengurangi rasa sakit, obat anti radang agar tak bengkak, serta antibiotic berupa Kapsul Tetra.
Setelah selesai pengobatan, I Made dikenakan biaya cuman lima ribu rupiah, lalu poulang. Sesampai di rumah, Ni Luh terasa lebih lega, dan mereka berdua juga tertidur lelap karena sudah dua hari tak tidur. Setelah terbangun pada sore hari, rasa sakit kakinya mulai berkurang, warna merah sudah berkurang, dan bengkak mulai berkurang. 
Saat itu I Made Sugrama berpikir sambil memegang obat dari puskesmas dan berkata dalam hati “ternyata liak sandal dan liak barak yang dibilang oleh balian hanyalah akal-akalan saja. Ternyata liak sandal dan liak barak bisa dikalahkan oleh kapsul tetra”.  Akhirnya yang menyembuhkan adalah “Balian Puskesmas”. Demikian pikiran jahilnya muncul sambil mensyukuri kedaan istrinya yang sudah semakin membaik. (Ki Buyut/Kand.)

Celuluk Kasmaran




Kembali cerita datang dari tanah Nusa Penida. Kisah ini dialami oleh Tut Badeng Senged yang sehari-harinya sebagai seorang petani rumput laut di desanya. Pada suatu hari terik matahari menyengat menyianri tanah Nusa Penida. Saat itu adalah saat yang baik untuk turun ke laut menanam rumput laut. Tut Badeng Sengged ngeblok permukaan bibir pantai sekitar lima puluh are ditanami rumput laut bersama istrinya Ni Luh Made Pemulu Nyandat Gading. Tut Badeng S bersama dengan istri sejak pagi sudah berada di laut, sampai siang dan bahkan sampai malam. Ia pun membawa bekal makanan ke pantai. Begitulah pekerjaannya setiap hari. Pulang pada malam hari. Ketika sampai di rumah anaknya sudah tidur, dan ketika mereka berangkat kerja, anaknya masih tidur Jadi jarang mereka bercengkrama dengan anaknya.
Suatu hari I Ketut Badeng Senged berada di laut besama istrinya sampai malam hari, karena bulan purnama. Setelah selesai bekerja dan merasa lelah, ia bergegas untuk pulang sambil membawa beberapa rumput laut. Sebelumnya ia mengambil sepeda motornya yang ditaruhnya sekitar dua ratus meter dari tempat ia bekerja di bibir pantai. Saat itu memang ia sendiri yang masih di laut, yang lainnya sudah mendahului pulang. 
Sepeda motor Yamaha Yupiter berwarna biru kesayangannya diparkir di bawah pohon waru. Motor distarter …. dan hidup.. greng..greng…greng. Gas ditarik, lalu berjalan. Namun setelah beberapa meter roda berputar di atas tanah yan berpasir, Ketut merasakan motornya agak seret jalannya, dan terasa berat. Ia mencoba untuk ngeget motornya. Jalannyapun masih lebih kencang, namun ia punya perasaan kok lari kendaraan masih berat. Ada apa. Ia pun terus saja mengendarai motornya di jalan yang agak remang-remang. Dan setelah beberapa saat itu kekawatirannya itu terjadi. Tak disangka ada sesuatu yang melingkar memegang pingangnya. Seperti ada yang memeluk dirinya. Ia melihat ke bagian pinggangnya, tak ada apa-apa. Namun seperinya ia sedang membonceng seseorang. Perasaannya mengatakan bahwa istrinya masih di pantai dan sekarang akan ke sana untuk menjemput. Ada apa ini? Demikian perasaannya.
Sambil pelan-pelan ia mencoba untuk menoleh ke belakang yang sepi, tak ada apa-apa. Ia kembali mengendarai sepeda motornya. Mungkin ini hanya perasaan saya saja, demikian kata hatinya. Setelah sekitar dua puluh meter dari tempat semula ia kembali merasakan hal serupa, Kendaraannya berat dan seret. Pinggannya kembali seperi ada yang memeluk. Sampai akhirnya ia mencoba untuk melihat ke pingangnya, terlihat olehnya jari-jari manis putih memeluk pinggangnya. Ia terkejut, kok ada waita cantik yang boncengan. Ia ingin tahu wajahnya dengan wasa-was. Ia menoleh ke belakang. Tak dinyana dan tak diduga, Ketut Badeng terkejut setengah mati, melihat sosok cantik putih berambut panjang. Namun kepalanya botak setengah dengan mulut lebar nyonyok lambih. Rupanya ia sedari tadi diganggu oleh celuluk tersebut. Tut Badeng jatuh tersungkur bersama dengan celuluk yang diboncengnya, bahkan celuluk itu menindih badan Ketut Bdeng dalam posisi berciuman. 
Cepat-cepat kemudian Tut Badeng melepaskan diri dari cengkrama celuluk yang menikmati ciuman tersebut. Walaupun bau badan celuluk itu miik alias harum, namun bon kah alias bau mulutnya sangat busuk. Hampir-hampir I Ketut Badeng muntah dibuatnya. Ia merasakan bahwa ini ciuman yang paling tidak indah yang pernah ia rasakan. Berciuman dengan celuluk mulut busuk. 
Melihat Si Ketut sudah kalap, celuluk tersebut kemudian tesenyum manis sambil berkelebat menghilang di balik pohon kelapa. Ketut berusaha untuk menemukan celukuk kurang ajar tersebut, namun tak ketemu. Ia menghujat celuluk tersebut dengan kata-kata “celuluk bangkan-bangkan totonan….”
Iapun kemudian segera mengamil motornya yang tersungkur di semak-semak berpasir, lalu menghidukannya. Sesampai di pinggir pantai ia disapa oleh istrinya yang sudah lama menunggu. Tut Badengan hanya bisa mengatakan bahwa tadi motornya mogok. Tut Badeng yang hatinya kesal lalu membonceng istri cantiknya ke rumah, sambil membayangkan kejadian tadi.
Tak berselang lama, sampailah mereka di rumah. Lalu beristirahat tidur. Keesokan harinya, mereka kembali ke pantai untuk menanam rumput laut. Ketika istrinya sedang di tengah pantai menanam rum put laut, I Ketut Badeng sedang menyiapkan bibit rumput laut di pinggir pantai. Sedang asiknya ia bekerja, tiba-tiba datang seorang perempuan menghampirinya dan tersenyum manis pada I Ketut Badeng. Perempuan manis itu berkata “kenken bli, nyak luwung sirepe ibi sanja. Tiang ngipi megelut tur mediman ajak bbli ibi sanja. Sangkanang tiang sing nyidang sirep kanti semeng. To awanan tiang mai, apang maan ketemu ajak beli” Artinya: Bagaimana Bli, nyenyak tidurnya tadi malam? Saya mimpi beperlukan dan berciuman dengan beli. Itu sebabnya saya tak bisa tidur sampai pagi. Itu pula sebabnya saya menghampiri beli ke sini”.
Lagi-lagi perempuan bertubuh blentek (pendek gemuk) tersebut berkata “saya senang sekali dengan mimpi saya yang atadi malam itu. Bagaimana dengan beli, apa yang beli rasakan”. Mendengar semua itu, I Ketut menjadi kaget dan berpikir, bisa jadi orang ini yang menjadi celuluk kemarin malam yang mengganggu dirinya.
Ketut berkata “eh lesung (panggilan untuk orang yang pendek gemuk)… rupanya kamu yang kemarin malam menjadi celuluk dan menggangu aku. Tak tahu malu, masih saja engkau mengejar aku sejak dulu. Awas sekali lagi kamu menggangguku akan aku ikat engkau semalaman di pohon pandan”. 
Mendengar omongan Ketut yan mulai kesal, Ni Wayan Ani Yudayani alias Lesung segera pergi sambil tesenyum genit cengengesan. I Ketut Badeng Senged pun tak bisa bebuat apa, sebab Ni Wayan Ani Yudanyani dulu pernah menjadi kekasihnya. (*)